Sabtu, 24 Desember 2011

Review Jurnal 15



Judul :TINJAUAN PROSPEK KOPERASI INDONESIA DARI PERSPEKTIF DISIPLIN
ILMU MANAJEMEN BISNIS
 Nama kelompok: 
Airin Akte Savira / 20210444 (airin_04)
Dessy lestari / 21210848 (dessy.lestari)
Juni Erbina Saragih / 23210813 (junierbinasaragih)
Siti Amanah / 26210579 (siti_amanah10)
Yuli Chatrine Castro /28210741 (chaterinecastro)

Abstrak

Naskah ini adalah hasil dari penilaian Deputi asisten untuk Koperasi Penelitian yang dilakukan oleh beberapa peneliti. Melalui berbagai perbaikanhasil ini kembaliterbungkus oleh penulis untukt disesuaikan format naskah jurnalDiskusi tentangkoperasi selalu masih menarik, meskipun selalu mengundang pertanyaan yang tidak jarang tidak proporsionaltidak semua persoalannya bisa menjawab dalam laporanpenilaiannamun diharapkan bisa memberikan warna pandangan lain dan bisa menjadi pertanyaan baruNamun, hal yang menarik dari penilaian ini adalah bahwadari sudut pandang disiplin manajemen bisnislingkungan bisnis global perubahansemua organisasi yang lebih membujuk kooperatif menerapkan disiplin manajemen modern
merumuskan tujuan dan strategi realokasirestrukturisasi dan sumber daya ke arah mana
 lebih inovatif untuk menciptakan keunggulan kompetitif di pasar. Dariperspektif
bersangkutan, praktek manajemen sekarang telah ditinggalkan dan menjadi tidak relevan dengan
 mengejar eraIni hanyayang mencerminkan pertumbuhan lambankoperasi, bahkan stagnan di Indonesia yang ditunjukkan oleh efek kelemahanmendasar dalam menerapkan fungsi manajemen. Setelah lebih dari 50 tahun keberadaannya, organisasi koperasi yang diharapkan menjadi pilar atau sokoguru perekonomian nasional dan gerakan ekonomi rakyat masih terus dipertanyakan. Sebab perkembangannya belum sesuai dengan harapan atau mendekati taraf yang dicapai di negara-negara lain. Fenomena empiris koperasi Indonesia jika dibandingkan dengan praktek koperasi di berbagai negara industri maju yang menganut sistem ekonomi liberal dan kapitalistik dinilai oleh banyak kalangan masih jauh tertinggal, atau jalan di tempat (stagnant) dan cenderung tergantung pada fasilitas dan bantuan pemerintah. Bahkan, sebagian kalangan lain berpendapat bahwa koperasi lebih sering dimanfaatkan di luar kepentingan generiknya. Pendapat ini dapat ditelusuri berdasarkan data perkembangan koperasi tahun 2006. Secara kuantitatif, total lembaga koperasi di Indonesia tercatat sebanyak 138.411 unit, dengan jumlah anggota 27.042.342 orang. Namun, dari jumlah tersebut jumlah koperasi aktif hanya sebanyak 43.703 unit atau hanya sekitar 31,5 persen saja. Hal ini menunjukkanbahwa koperasi sebagai lembaga ekonomi memiliki derajat kompleksitas yang lebih tinggi. Kompleksitas ini menyebabkan pertumbuhan koperasi yang berkualitas sangat terbatas dan cenderung kurang dapat diandalkan untuk mengatasi problem sosial ekonomi dalam masyarakat. Hal tersebut tidak tertutup kemungkinan disebabkan oleh muatan dan beban Peneliti Utama pada Deput Bidang Pengkajian Sumberdaya UKMK koperasi yang sarat dengan aspek-aspek non ekonomi, mis-management atau bahkan under managed. Aktivitas koperasi sebagai badan usaha, tidak terlepas dari berbagai pengaruh, baik dari lingkungan internal (SDM, organisasi dan kelembagaan, manajemen, modal, ragam usaha, keanggotaan, teknologi) maupun lingkungan eksternal (sosial budaya, politik, perekonomian, hukum, informasi, dan perkembangan iptek) di tingkat regional, nasional dan internasional. Pengaruh ini sebenarnya mendorong terciptanya perubahan karena adanya tantangan dan sekaligus peluang bagi pengembangan koperasi. Namun, dapat pula menjadi ancaman akibat tingkat persaingan yang semakin ketat. Konsekwensinya, manakala koperasi tidak memiliki keunggulan kompetitif, maka perubahan hanya menjadi masalah bagi koperasi. Fakta ini menjadi pertanyaan mendasar yaitu:
1) apakah koperasi masih relevan dikembangkan dalam lingkungan masyarakat Indonesia yang mengalami
perubahan?
2) jikalau masih relevan, mengapa koperasi belum berkembang di Indonesia?
3) apakah kondisi masyarakat Indonesia sekarang masih kondusif bagi pengembangan
ekonomi rakyat melalui kelompok atau koperasi?
4) apakah proses pengembangan
koperasi di Indonesia masih sejalan dengan konsep/teori ekonomi, manajemen, sosial
budaya, psikologi, serta hukum yang berlaku umum?
5) apakah berkoperasi merupakan salah satu pilihan untuk mensejahterakan masyarakat?
6) bagaimana pola pengembangan koperasi di masa depan pada lingkungan yang dinamis? Keenam pertanyaan di atas dikaji secara komprehensif melalui perspektif disiplin ilmu Manajemen Bisnis terhadap prospek masa depan koperasi Indonesia.

1.1 Maksud dan Tujuan
Kajian ini dimaksudkan untuk menjawab berbagai persoalan yang sedang berlangsung dalam kehidupan gerakan koperasi di Indonesia. Secara spesifik tujuan kajian ini adalah untuk
(1) Mengetahui prospek pengembangan koperasi di Indonesia ditinjau dari perspektif ilmu manajemen, dan
(2) Menyusun rekomendasi tentang pendekatan pemberdayaan koperasi dalam lingkungan yang berubah dengan mempertimbangkan dimensi ilmu manajemen.

2.Pendekatan Masalah

2.1 Globalisasi dan Manajemen
Globalisasi adalah suatu fakta kehidupan yang sulit terhindar. Kehidupan terpengaruh oleh arus globalisasi terutama kalangan dunia usaha. Badan usaha yang berkeinginan untuk bertahan dalam pasar dituntut untuk memiliki fokus global, tidak hanya perusahaan besar bahkan bisnis kecilpun mulai berorientasi global. Terkait dengan kondisi ini, Stoner menyatakan bahwa globalisasi menyumbang tiga fenomena yang saling berkaitan yaitu faktor kedekatan, lokasi dan sikap. Apabila disatukan, ketiga faktor tersebut menekankan suatu susunan kompleksitas yang belum pernah terjadi dan dihadapi sebelumnya oleh para manajer organisasi bisnis. Globalisasi mendorong sikap baru yang lebih terbuka dalam mempraktekkan manajemen secara internasional. Sikap ini menggabungkan dunia di luar batas-batas nasionalismenya dengan kemampuan berpartisipasi dalam ekonomi global. Ohmae (2000), menjelaskan gejala ini dengan pernyataan yang sederhana bahwa ”sekarang tidak ada lagi luar negeri”. Implikasi dari perkembangan globalisasi terhadap konsepsi, pemikiran dan praktek-praktek manajemen pada berbagai organisasi khususnya pada organisasi bisnis kian tidak terhindarkan. Semua hal yang semula memadai dan cocok diterapkan pada situasi budaya lama menjadi usang dengan munculnya globalisasi dan pasar bebas. Dalam organisasi bisnis saat ini hanya yang paling adaptif yang akan mampu bertahan. Perusahaan atau organisasi bisnis yang resisten dengan cara- cara lama, tidak menyesuaikan diri dan masih belajar akan tertinggal. Dimensi lain yang mempengaruhi keberhasilan bisnis adalah variable lingkungan eksternal seperti politik, ekonomi, sosial budaya, iptek, informasi, etika dan hukum bisnis. Para pakar dan praktisi bisnis menyadari bahwa perubahan lingkungan eksternal amatlah cepat, terkadang sulit dimengerti/misterius (Rheinald Kasali, 2005).  Dampaknya, kondisi pasarpun berubah yang diindikasikan dari : Kekuasaan sudah beralih ke tangan konsumen (demand driven) Skala produksi yang besar bukan lagi merupakan suatu keharusan. Batas negara dan wilayah tidak lagi menjadi kendala. Teknologi dengan cepat dapat dikuasai dan mudah ditiru. Setiap saat muncul pesaing dengan biaya yang lebih murah. Meningkatnya kepekaan konsumen terhadap harga dan nilai.

Menghadapi kondisi tersebut, para pelaku bisnis termasuk koperasi perlu selalu menganalisis pasar, mengenali peluang, memformulasikan strategi pemasaran, mengembangkan taktik dan tindakan spesifik serta menyusun anggaran dan laporan kinerja. Manajemen bisnis-pun perlu menerapkan paradigma baru yaitu manajemen perubahan, seperti dilansir oleh Charles Darwin (dalam Rheinald Kasali, 2005) bahwa ”bukan yang terkuat yang mampu berumur panjang melainkan yang paling adaptif (selalu menyesuaikan diri dengan perubahan)”. Perusahaan bisnis dianalogikan seperti mahluk hidup yang berevolusi untuk survive dan meneruskan keturunan. Dalam evolusi, menoleh ke belakang adalah untuk memaknai kehidupan dan tantangan kedepan dengan perencanaan matang, cermat dan cerdas.

2.2 Konsepsi Manajemen
Pemahaman terhadap konsep manajemen tidak dapat dipisahkan dari konsep organisasi. Secara sederhana organisasi adalah tempat orang-orang yang bekerjasama untuk mencapai tujuan tertentu sebagai elemen mendasar. Masalah pokok manajemen organisasi tidak lain adalah bagaimana mengelola dan mengalokasikan sumber daya (manusia, modal, fisik, uang, dll) untuk mencapai sasaran atau tujuannya. Stoner, dkk. (1996) mendefinisikan manajemen adalah kebiasaan yang dilakukan secara sadar dan terus menerus dalam membentuk dan menjalankan organisasi. Semua organisasi mempunyai penanggung jawab terhadap oreganisasi untuk mencapai sasarannya, orang tersebut adalah manajer. Memperkuat pendapat Stoner itu, Gibson, (1996) mendefinisikan manajemen adalah suatu proses yang dilakukan oleh satu individu atau lebih untuk mengkordinasikan berbagai aktivitas untuk mencapai hasil lebih baik yang tidak dapat dicapai apabila individu bertindak sendiri- sendiri.
Teori manajemen ilmiah muncul sebagai akibat dari kebutuhan organisasi untuk meningkatkan produktivitas. Di awal abad ke 20, terutama di Amerika Serikat, tenaga kerja terampil terasa amat kurang. Satu-satunya cara untuk meningkatkan produktivitas adalah meningkatkan efisiensi para pekerja. Proponen teori ini adalah Frederick W. Taylor, Henry L. Gantt, Frank serta Lilian Gillbert.

Frederick W. Taylor (1856-1915) dalam Stoner (1995:34), mendasarkan filosofinya pada empat prinsip dasar manajemen yaitu :
• Metoda terbaik untuk melaksanakan setiap tugas dapat ditentukan.
• Seleksi ilmiah para pekerja dengan pemberian tanggung jawab melakukan
tugas yang paling sesuai.
• Pendidikan dan pelatihan yang berkelanjutan bagi para pekerja.
• Kerja sama bersahabat dan secara pribadi antara manajemen dan tenaga
kerja.
Keberhasilan menerapkan keempat prinsip tersebut memerlukan revolusi mental pihak manajemen dan tenaga kerja untuk bekerjasama meningkatkan produksi yang pada gilirannya laba akan meningkat sehingga kesejahteraan karyawanpun membaik pula. Salah satu upaya Taylor yang paling populer adalah mengenai studi gerak dan waktu (time motion study) pada lini produksi. Kontribusi Taylor dapat dilihat pada lini perakitan pabrik mobil yang menghasilkan produk akhir lebih cepat dari sebelumnya. Keajaiban peningkatan produktivitas ini hanya salah satu warisan dari manajemen ilmiah. Teknik efisiensi Taylor telah diterapkan pada berbagai tugas dalam organisasi non industri seperti perusahaan jasa makanan siap saji sampai pelatihan untuk dokter bedah.

Fungsi dan Proses Manajemen
Para pakar manajemen sejak akhir abad kesembilan belas, mendefinisikan manajemen dalam empat fungsi spesifik, yaitu Planning, Organizing, Actuating), dan Controlling. Perkembangan terkini, para pakar manajemen Amerika cenderung hanya menganut tiga fungsi utama yaitu Planning, Organizing, dan Controlling sebab dianggap bahwa Actuating sebenarnya termasuk dalam fungsi perencanaan (Gibson, et. al., 1996:174). Proses manajemen adalah cara sistematik yang sudah ditetapkan dalam melakukan kegiatan yang menekankan manajer terlibat dalam aktivitas yang saling terkait dalam fungsi-fungsi manajemen untuk mencapai suatu tujuan organisasi yang diinginkan.
 Dalam praktek, penerapan fungsi pengendalian dalam manajemen modern dikaitkan dengan orientasi peningkatan kualitas secara menyeluruh. Konsep ini dikenal sebagai Total Quality Management (TQM) dan istilah total mengandung makna every process, every job and every person (Lewis and Smith, 1994). Pengertian TQM dibedakan dalam dua aspek (Goetsch and Davis, 1994). Aspek pertama menguraikan pengertian TQM yaitu pendekatan dalam menjalankan bisnis/usaha yang berupaya memaksimalkan daya saing melalui penyempurnaan terus-menerus atas produk, jasa, manusia, proses dan lingkungan organisasi. Aspek kedua adalah cara mencapainya dan berkaitan dengan 10 karakteristik TQM. Creech (1996) di sisi lain mengemukakan terdapat lima pilar untuk berhasil menerapkan TQM, yaitu produk, proses, organisasi, pemimpin dan komitmen.

2.4 Sistem Penggajian (Renumerasi)
Para peneliti dan praktisi manajemen telah berusaha mengembangkan pemahaman terhadap hubungan antara struktur organisasi dengan kinerja, sikap karyawan, kepuasan kerja dan berbagai variabel lain yang dianggap penting. Namun usaha pemahaman tersebut terhambat oleh kerumitan hubungan diantara variabel- variabel tersebut dan kesulitan dalam mengukur dan menentukan konsep struktur organisasi itu (Gibson, et. al., 1996: 235). Oleh sebab itu, dimensi sistim penggajian dan sistim karier dimasukkan dalam ranah struktur organisasi untuk kemudian menjadi variabel sendiri dalam ranah manajemen sumberdaya manusia sebagai cabang ilmu manajemen yang mendalami masalah tersebut. Sistem penggajian (renumerasi) atau sistem kompensasi merupakan hal yang paling mendasar dari manajemen sumberdaya manusia sebab adanya tenaga dan pikiran yang dicurahkan untuk mendapatkan kompensasi. Kompensasi dapat mencakup insentif untuk meningkatkan motivasi karyawan yang pada gilirannya meningkatkan produktivitas karyawan. Kompensasi didefinisikan sebagai what employees receive in exchange for their work, including pay and benefits. (Werther, 1994). Definisi lain menyebutkan Compensation refers to all forms of financialreturns, tangible services, and benefits employees recieve as part of an employment relationship. (Milkovich, 1988) Pengertian ini menjelaskan bahwa kompensasi merupakan hal penting karena pendapatan dan benefit lainnya pada dasarnya merupakan sesuatu untuk memenuhi banyak kebutuhan karyawan. Selain itu juga pendapatan dan benefit lain merupakan simbol prestise, kekuasaan, prestasi dan status karyawan dalam masyarakat. Setiap orang yang menukarkan jasanya kepada organisasi dengan harapan akan memperoleh imbalan. Penentuan besarnya kompensasi memerlukan banyak pertimbangan.

2.5 Sistem Karier

Dalam manajemen sumberdaya manusia, sistem karier karyawan merupakan bagian dari program pengembangan, penghargaan dan pemeliharaan (maintaining) karyawan. Dalam kondisi kompetisi perusahaan industri terdapat suatu kendala yang dirasakan setiap perusahaan, yaitu keterbatasan tersedianya sumberdaya manusia yang handal agar perusahaan mampu bertahan. Untuk mengatasi masalah tersebut sering perusahaan mengambil jalan pintas dengan membajak atau memberi tawaran karier dan penghargaan yang lebih menarik dibandingkan dengan perusahaan asal. Khusus mengenai sistem karier, rotasi dan penghargaan diakui oleh para ahli dan kalangan praktisi manajemen bisnis dapat menunjang produktivitas kerja para karyawan, sebab faktor tersebut berpengaruh terhadap motivasi kerja. Kaitan antara sistem karier dan rotasi kerja dengan motivasi kerja diungkapkan oleh R. Wayne Mondy dkk (1999) bahwa transfer karyawan dari satu bidang ke bidang kerja lainnya diantaranya adalah untuk menumbuhkan kepuasan kerja dalam diri karyawan. Sementara itu kepuasan kerja amat berpengaruh terhadap motivasi kerja para karyawan suatu perusahaan. Hal senada dikemukakan oleh Robert Kreitner dkk (1998) bahwa rotasi kerja adalah bagian dari sistem karier karyawan yang bertujuan untuk menciptakan variasi pekerjaan bagi karyawan, sebab (1) firms often find it necessary to reorganize, (2) to make positions available in the primary promotion channels. Another reason is to satisfy employees personal desires and is an effective dealing with personality clashes.

Metoda Kajian

Metoda yang diterapkan pada kajian ini adalah explorative study yang teknik
studinya menggunakan kombinasi antara:
• Studi Kepustakaan (Library research), difokuskan kepada literatur perkoperasian, ekonomi koperasi, manajemen umum, manajemen koperasi, serta hasil kajian yang relevan dengan kegiatan ini baik yang dipublikasikan maupun yang tidak dipublikasikan termasuk publikasi melalui internet.
• Observasi lapangan (Field research), dengan pendekatan expert explorative survey atau expert judgement untuk menghimpun pendapat ahli yang berhubungan dengan tujuan kajian. Kegiatan ini dikaitkan dengan pengumpulan data primer di koperasi sampel dan pelaksanaan seminar di perguruan tinggi tertentu untuk menelaah kajian perkoperasian yang pernah dilakukan.



Jenis dan Sumber Data

Data sekunder dihimpun dari :
1. Hasil-hasil kajian perkoperasian (dalam berbagai bentuk seperti disertasi, tesis, skripsi, dll.) dari perguruan tinggi yang relevan dengan disiplin ilmu manajemen (dari aspek fungsi dan proses manajemen, strategi manajemen, struktur organisasi, pembagian tuigas, renumerasi, sistem karier dan efisiensi bisnis koperasi). Buku-buku teks ilmu manajemen perusahaan non koperasi dan koperasi baik yang diterbitkan di dalam negeri maupun dari luar negeri.

2. Laporan tahunan dari beberapa koperasi yang menjadi obyek pengamatan. Data primer berasal dari hasil observasi lapangan, wawancara dengan pengurus, manajer, karyawan, anggota dan pendapat para ahli yang dikumpulkan dalam kegiatan seminar di perguruan tinggi.

Teknik Pengumpulan Data

Teknik atau cara pengumpulan data dalam kajian ini dilaksanakan dengan
cara:
 1) Wawancara kepada Pengurus, Manajer, Karyawan, dan Anggota;
2) Pengamatan langsung pada aktivitas manajemen koperasi;
 3) Studi pustaka;
4) Pengumpulan pendapat ahli/pakar di perguruan tinggi melalui forum seminar,
konsultasi dan diskusi terbatas.

Variabel Operasional
Variabel yang digunakan dalam kajian ini meliputi konsepsi manajemen, proses dan fungsi manajemen, sistim renumerasi, sistim karier, efisiensi usaha, dan positioning koperasi. Setiap variabel kajian dijabarkan kedalam dimensi, dan indikator.

Teknik Penetapan Sampel

Wilayah kajian ditetapkan secara sengaja di enam lokasi yaitu Propinsi Sulawesi Utara, Kalimantan Barat, Jawa Barat, Jawa Timur, Sumatera Utara dan Propinsi Lampung. Penetapan propinsi sampel dilakukan dengan memperhatikan keragaman dan kompleksitas koperasi baik dilihat dari jenis, bentuk organisasi, sektor usaha, jangkauan pelayanan, skala bisnis, heterogenitas keanggotaan,

IV. Hasil Kajian

Pemahaman Konsepsi Manajemen
Hasil observasi menunjukkan bahwa sebagian besar responden terutama yang memiliki latar belakang pendidikan strata satu mampu mendeskripsikan dengan baik rumusan tugas manajerialnya di koperasi. Semakin baik pemahaman konseptual manajemen responden berarti dapat diduga kuat adanya korelasi positif dengan performance (kinerja), suasana kerja di kantor, dan kinerja bisnis koperasi. Kondisi ini ditemukan pada koperasi yang diklasifikasi maju (memiliki kinerja bisnis, finansial dan organisasi yang baik).

4. Fungsi dan Proses Manajemen

4.2.1. Keragaan Fungsi dan Proses Perencanaan

Dimensi Penetapan Tujuan

Dari sembilan koperasi sampel yang diobservasi, hanya satu koperasi (KPSBU Lembang) atau 11,1 persen yang memiliki visi jangka panjang secara tertulis, sementara delapan koperasi lainnya belum memiliki. Visi KPSBU yang patut dicontoh oleh koperasi lainnya adalah ”Menjadi koperasi susu terdepan di Indonesia dalam mensejahterakan anggota”. Pada tahun 1980 jumlah anggota 319 orang dengan produksi susu rata-rata per hari 2.840 kg kemudian jumlah anggota meningkat menjadi 6.092 orang anggota dengan produksi susu per hari 103.384 kg. Data ini mengindikasikan bahwa KPSBU dibutuhkan oleh anggotanya, minimal untuk pemasaran susu. Dalam perumusan tujuan (target) jangka pendek, pada umumnya koperasi sampel merumuskannya dalam kalimat kualitatif dengan target yang tidak terukur. Berikut ini adalah contoh tujuan koperasi yang dikumpulkan dari Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Koperasi (RAPBK) yang disampaikan dalam rapat anggota tahunan (RAT).

Dimensi Implementasi
Dari sembilan koperasi yang diobservasi, hanya KPSBU Lembang saja yang memiliki dokumen rencana kerja yang dilengkapi dengan Standard Operating Procedur (SOP) dan petunjuk teknis (Juknis) tertulis. Menurut keterangan pengurus dan manajer, KUD ketika menangani usaha program dari pemerintah seperti penyaluran KUT, Pengadaan Pangan, dan penyaluran Pupuk, pernah memiliki Juklak dan Juknis, meski disusunkan oleh pihak pemerintah.

Dimensi Jenis dan Proses Perencanaan
Fakta empiris ditemukan pada 2 KPSBU, yang sudah menerapkan proses perumusan rencana strategis jangka panjang melalui beberapa tahapan. Kondisi ini memperkuat pendapat Ropke (1985) bahwa pada dasarnya keberhasilan suatu koperasi dalam bidang usaha akan sangat dipengaruhi oleh kualitas partisipasi anggota.

4.1.1. Keragaan Fungsi dan Proses Pengorganisasian

Dimensi Struktur

Secara umum koperasi sudah memiliki deskripsi tugas secara tertulis, meskipun dalam versi dan kedalaman yang bervariasi. Dilihat dari formalisasi maksud dan tujuan pekerjaan yang ditetapkan, seluruh koperasi sampel menetapkan pembagian kerja kedalam unit atau divisi/departemen secara formal melalui keputusan rapat anggota, meskipun disain struktur kebanyakan dilakukan oleh pengurus. Formalisasi tugas ini oleh pengurus dijabarkan kedalam bentuk uraian tugas. Kompleksitas struktur ini memberikan gambaran bervariasi dari yang sederhana seperti pada KSP dan yang lebih komplek seperti pada KUD dan koperasi peternakan. Jenjang struktur vertikal bervariasi antara tiga sampai dengan lima jenjang. Jenjang struktur tiga tingkat yaitu Rapat Anggota, Pengurus, dan Unit ditemukan pada KUD Setia Tani, Sumatera utara. Jenjang struktur lima tingkat dimulai dari Rapat Anggota, Pengurus, Manajer, Unit dan Sub unit, ditemukan di tiga koperasi contoh. Diferensiasi horizontal, yaitu kelebaran struktur pada level yang sama juga bervariasi sesuai dengan banyaknya fungsi usaha yang ditangani. Kedalaman dan kelebaran dari struktur organisasi koperasi ini akan menentukan rentang kendali manajemen.

Disain Struktur (Departementasi)

Desain organisasi koperasi pada umumnya menggunakan model fungsional sesuai komoditas usaha yang ditangani. Koperasi dengan disain yang optimal (ditinjau dari rasio karyawan dengan anggota yang dilayani dan jumlah unit usaha yang ditangani) relatif fleksibel dalam mengikuti perubahan lingkungan internal organisasi dan eksternalnya, mampu bertahan dan cenderung berkembang. Sebaliknya bagi koperasi yang memiliki struktur organisasi gemuk, kurang fleksibel dan diorganisasikan dengan pola lama tanpa memanfaatkan teknologi informasi menghadapi masalah jalan ditempat
dan cenderung tidak berkembang.

Dimensi Pembagian Wewenang

Pembagian wewenang, tugas dan tanggung jawab perangkat organisasi koperasi secara garis besar diatur oleh Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992, tentang Perkoperasian, yang selanjutnya oleh masing-masing koperasi dijabarkan dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Koperasi. Rapat Anggota memegang kekuasaan tertinggi dan memiliki kewenangan sentral dalam pengambilan keputusan strategis koperasi. Dalam implementasinya, pembagian wewenang ketiga parangkat organisasi koperasi tersebut di lapangan hampir tidak ditemukan masalah, artinya masih sesuai dengan ketentuan yang berlaku.


Dimensi Koordinasi Menggerakkan Organisasi

Paradigma baru peran dan tugas pemimpin dalam dunia usaha saat ini bergeser dari cara-cara lama yang cenderung otoriter, satu arah dimana seorang pemimpin atau manajer perusahaan berprinsip doing things right bergeser kearah pemimpin yang lebih demokratis dengan prinsip doing the right thing.
Standarisasi suatu proses kegiatan yang dijabarkan dalam bentuk SOP, Juknis, Juklak hanya ditemukan padadua koperasi sampel. Pada kedua koperasi tersebut dirasakan adanya suasana kerja yang dinamis dengan aktifitas usaha berjalan dengan baik.

Dimensi Kerjasama

Aspek lain yang diobservasi dalam variabel pengorganisasian adalah kerjasama koperasi dengan pihak lain. Semua koperasi sampel yang diamati belum memanfaatkan kerjasama antar koperasi baik dalam bentuk aliansi strategis, integrasi vertikal maupun intergrasi horisontal (dalam rangka menurunkan biaya transaksi, mengurangi risiko ketidakpastian, meningkatkan nilai tambah, dan memperluas pasar). Kondisi ini masih tidak berubah dan cenderung semakin buruk. Kondisi seperti itu sejalan dengan hasil kesimpulan penelitian Litbang Depkop bekerja sama dengan LPPM-Ikopin pada tahun 1993. Padahal pada masa itu dukungan pemerintah terhadap KUD/koperasi masih sangat kuat dengan fasilitas kredit program dan hak monopoli pemasaran dari beberapa komoditi strategis seperti pupuk, kedelai, terigu, gula, susu, dan gabah/beras.

4.1.2. Keragaan Proses Pengendalian

Observasi tentang proses pengendalian manajemen di koperasi sampel difokuskan kepada bebrapa indikator seperti penetapan standar dan metoda, pengukuran prestasi, analisis, serta tindakan korektif. Sumber informasi diperoleh dari pengamatan langsung, penuturan responden, dokumen perencanaan dan laporan tahunan yang disampaikan pada RAT.


Sistem Penggajian

Hasil observasi mengenai implementasi sistem renumerasi di koperasi sampel
memberi gambaran bahwa sistem renumerasi di koperasi keragaannya sangat
bervariasi. Semakin baik proses penerapan manajemen di koperasi maka semakin
baik pula penerapan sistim renumerasinya. Hal ini diindikasikan dari adanya dasar
pemberian kompensasi dan penetapan komponen kompensasi yang jelas dalam sistim
penggajiannya pada tiga koperasi sampel. Koperasi lainnya belum memiliki sistim
renumerasi yang jelas. Secara umum dapat dikatakan bahwa rata-rata kompensasi
yang diterima oleh karyawan koperasi untuk jenis pekerjaan, tingkat pendidikan,
beban kerja dan pengalaman yang sama dibandingkan dengan kompensasi yang
diberikan oleh perusahaan swasta relatif masih lebih rendah.

Oman Hadipermana (2007) dari hasil penelitiannya di Jawa Barat dan Lampung
mengemukakan bahwa terjadinya ketidakpuasan karyawan koperasi ditemukan
karena kompensasi yang diterima belum sesuai dengan beban kerjanya. Adanya
perasaan tidak puas dan tidak adil dari para karyawan akan menyebabkan hal-hal
yang kurang baik bagi pencapaian tujuan organisasi. Hal tersebut menurut Bernadin
(1993) disebabkan karena adanya gap antara harapan karyawan dengan kenyataan
yang diperolehnya dari organisasi tempat kerjanya.

Lebih lanjut Ade Umar, 2006, ”Pengaruh Kompensasi dan Motivasi Kerja dari hasil
penelitiannya di Maluku Utara, menyimpulkan :
1. Terdapat hubungan yang positif antara kompensasi dengan motivasi kerja
karyawan. Artinya meningkatnya aspek kompensasi akan disertai dengan
peningkatan aspek motivasi kerja karyawan. Meskipun terdapat indikasi bahwa
kompensasi kerja bagi karyawan dipersepsikan pada kategori rendah sampai
cukup saja.
2. Motivasi kerja karyawan berpengaruh positif terhadap prestasi kerja karyawan.
Secara parsial motivasi kerja berpengaruh lebih besar dibandingkan dengan
pengaruh kompensasi kerja secara langsung terhadap prestasi kerja. Artinya
walaupun kompensasi yang diterima karyawan KUD masih rendah, tetapi
karyawan tetap memiliki motivasi yang baik untuk berprestasi.
3. Kompensasi kerja dan motivasi kerja secara bersama-sama (simultan)
berpengaruh positif terhadap prestasi kerja karyawan.

Sejalan dengan pendapat-pendapat di atas, Abdul Hamid pada tahun 2003 dari studi
kasus yang dilakukan di Sumedang (Jawa Barat), menyimpulkan kesimpulan penting
yang diperoleh:
1. Secara kualitatif prestasi kerja karyawan termasuk dalam kriteria cukup. Hal ini
ditunjukkan oleh jumlah skor sebesar 58,33 persen yang masuk dalam kriteria
prestasi kerja cukup, walaupun masih terdapat indikasi yang masuk dalam kriteria
kurang.
2. Secara kualitatif prestasi kerja karyawan unit simpan pinjam juga masuk dalam
kriteria cukup saja.

Kesimpulan hasil-hasil penelitian tersebut memperkuat bukti bahwa tingkat kualitas
kerja karyawan koperasi masih rendah dan pada gilirannya akan mempengaruhi dan
menurunkan tingkat produktivitas koperasi.

Sementara itu, belum ditemukan penelitian lain yang difokuskan kepada
hubungan antara kompensasi, motivasi dengan produktivitas kerja pengurus dan
menejer koperasi. Kompensasi bagi pengurus koperasi selain dalam bentuk
honorarium atau insentif bulanan juga dari bagian SHU dengan prosentasi tertentu.
Manajer selain memperoleh gaji bulanan juga ditambah dengan bonus atau bagian
dari SHU. Dari pengamatan lapangan ada indikasi sistim balas jasa bagi pengurus
dan manajer kurang transparan sehingga terkesan memperoleh kompensasi jauh lebih
besar dibandingkan dengan rata-rata kompensasi yang diterima karyawan.

Pada umumnya sistim karier bagi karyawan koperasi tidak jelas atau belum
mapan dibandingkan dengan perusahaan non koperasi. Beberapa alasan yang
diutarakan oleh para pengurus dan manajer tentang masih buruknya sistim karier di
koperasi adalah karena keterbatasan posisi jabatan di koperasi dan atau terbatasnya
17

skala bisnis dan kemampuan koperasi dalam memberikan kompensasi. Alasan yang
disebutkan terakhir konsisten dengan apa yang telah dibahas pada variabel
kompensasi/renumerasi. Dari aspek karier, nampaknya koperasi masih bukan
lembaga yang menjadi pilihan yang menjanjikan untuk para pencari kerja di pasar
tenaga kerja. Karyawan yang saat ini bekerja boleh jadi karena faktor keterpaksaan
karena tidak terserap oleh perusahaan non koperasi. Dengan kata lain karyawan
koperasi masuk dalam kualitas ketiga. SDM dengan kualitas kesatu diserap oleh
BUMS dan BUMN yang sudah mapan. Sementara SDM dengan kualitas kedua
diserap oleh sektor pegawai negeri.

Survey yang dilakukan IKOPIN (Institut Manajemen Koperasi Indonesia) dan
Universitas Bina Nusantara, Jakarta terhadap minat para mahasiswa tingkat akhir
untuk menjadi Wirausaha mandiri, menyimpulkan kurang dari 10 persen responden
yang berminat menjadi wirausaha, meski tidak dapat diserap dalam pasar kerja.
Selebihnya 90 persen responden menyatakan tidak berminat dan memilih untuk
menjadi pegawai. Pilihan menjadi pegawai BUMN dan BUMS yang mapan
menempati prioritas pilihan pertama, kemudian diikuti menjadi pegawai negeri dan
tidak satupun responden memilih koperasi sebagai tempat pilihan kariernya. Padahal
kurikulum IKOPIN memuat misi mencetak sarjana ekonomi untuk membangun
perekonomian dengan koperasi sebagai bentuk kelembagaan ideal bagi ekonomi
kerakyatan.

Temuan lain mengindikasikan bahwa kewenangan sentralistik pengurus
dalam proses rekruitmen dan penempatan pegawai berdampak kepada tidak
transparannya sistim karier di koperasi dan cenderung memperkuat nepotisme. Akses
dan peluang kerja termasuk pengembangan karier terindikasi kuat ditentukan oleh
adanya hubungan kekerabatan dengan pengurus. Alasan kemampuan finansial
koperasi nampaknya bukan unsur utama dalam hal karier karyawan. Demikian pula,
sangat jarang ditemukan adanya koperasi yang secara pro aktif memasang iklan di
mass media untuk rekrutasi karyawan secara terbuka.

Efisiensi Usaha Koperasi

Gambaran mengenai tingkat rentabilitas ekonomi (RE) di koperasi sampel
menunjukkan besaran yang bervariasi yaitu antara negatif 0,006 persen (artinya
koperasi masih menderita kerugian) sampai 8,8 persen. Oleh karena standar RE
untuk koperasi di Indonesia belum ada maka digunakan standar industri sebagai
pembanding. Biasanya standar industri dikelompokkan kedalam jenis usahanya
misalnya standar RE untuk usaha perdagangan, RE usaha manufaktur, RE usaha jasa
transportasi, RE usaha pertambangan dan sebagainya. Cara lain yang biasa ditempuh
para ahli manajemen keuangan adalah menggunakan standar tingkat bunga pasar dari
deposito sebagai opportunity cost of money. Apabila tingkat bunga deposito yang
berlaku delapan persen pertahun, maka jika RE koperasi di bawah itu dapat dikatakan
koperasi tidak efisien (terjadi pemborosan pemakaian sumberdaya ekonomi). Data
lapang menunjukkan bahwa sebagian besar koperasi sampel memiliki tingkat RE
yang rendah (tidak efisien). Meskipun begitu sebagian KSP yang bergerak di bidang
bisnis keuangan mikro menunjukkan tingkat efisiensi yang lebih baik.

Penelitian Opik Ropikoh (2003) mengenai Evaluasi Faktor-faktor Yang
Menyebabkan Turunnya Perputaran Modal Kerja dan Rentabilitas Ekonomis di
Majalengka, menemukan kondisi yang lebih parah yaitu dari tahun 1998 sampai
tahun 2003, rata-rata RE koperasi tersebut kurang dari satu persen (antara 0,14 -
18

0,32). Patut dicatat bahwa kondisi perekonomian periode tersebut masih dalam masa
krisis.

Sebelum krisis, Lilis Suryati (1997) meneliti Partisipasi Anggota Dalam
Kontribusi Modal dan Pemanfaatan Pelayanan Koperasi Dihubungkan dengan
Tingkat Rentabilitas Koperasi di Indramayu, juga mendapatkan RE dari tahun 1992
sampai tahun 1996 berkisar antara 0,09 persen hingga 3,21 persen. Hal serupa
ditemukan dalam penelitian Lely Savitri Dewi pada tahun 2001 di Bandung tentang
Pengaruh Kualitas Kewirausaahaan Pribadi Manajer Terhadap Profitabilitas
Koperasi. Dari hasil penelitiannya dikemukakan probabilitas koperasi sampel yang
KSP rata-rata di bawah 5 persen. Meskipun demikian terdapat kecenderungan bahwa
rata-rata koperasi sampel memiliki tingkat rentabilitas ekonomi yang lebih baik
dibandingkan dengan koperasi jenis KUD bahkan memberikan biaya transaksi yang
lebih rendah dibandingkan dengan lembaga keuangan mikro lainnya.

Kondisi empirik mengenai efisiensi biaya transaksi KSP rata-rata lebih
rendah dibandingkan dengan lembaga keuangan non koperasi seperti dibuktikan oleh
Sugiyanto (2006) yang meneliti manfaat promosi ekonomi anggota pada KSP dan
koperasi kredit (Kopdit) dalam bentuk efisiensi biaya pinjaman seperti biaya
administrasi, provisi dan asuransi. Efisiensi dihitung dari selisih antara biaya
pinjaman anggota ke koperasi dengan bila anggota meminjam kepada pihak pesaing
koperasi.

Data juga menunjukkan gambaran yang positif terhadap bisnis keuangan
mikro yang digeluti oleh KSP dan koperasi kredit. KSP dan Kopdit terbukti memiliki
competitive advantage yang ditunjukkan dengan rata-rata memberikan biaya
pinjaman yang lebih murah 4,91 persen dibandingkan para pesaingnya dalam hal ini
pihak perbankan dan lembaga keuangan lainnya. Hal ini bisa jadi karena pembinaan
dan pengawasan terhadap KSP dan USP koperasi oleh pemerintah lebih intensif
dibandingkan dengan kegiatan bisnis koperasi di luar sektor keuangan. Meskipun
begitu, masih banyak ditemukan KSP/USP koperasi yang berusaha mencari celah
kelemahan dari peraturan yang ada.

Masalah efisiensi koperasi di negara-negara bekembang (termasuk di Indonesia)
telah menjadi bahan diskusi panjang terhadap penyebab kegagalan koperasi. Hanel
(1985 ) mengkritisi kegagalan koperasi di negara-negara berkembang disebabkan
oleh :
1. Dampak koperasi terhadap pembangunan yang kurang atau sangat kurang dari
organisasi koperasi, khususnya karena koperasi tidak banyak memberikan
sumbangan dalam mengatasi kemiskinan dan dalam mengubah struktur
kekuasaan sosial politik setempat bagi kepentingan golongan masyarakat yang
miskin.
2. Jasa-jasa pelayanan yang diberikan oleh organisasi koperasi seringkali dinilai
tidak efisien dan tidak mengarah kepada kebutuhan anggotanya, bahkan
sebaliknya hanya memberikan manfaat bagi para petani besar yang telah maju
dan kelompok-kelompok tertentu.
3. Tingkat efisiensi perusahaan-perusahaan koperasi rendah (manajemen tidak
mampu, terjadi penyelewengan, korupsi, nepotisme, dll).
4. Tingkat ofisialisasi yang yang sering kali terlampau tinggi pada koperasi
(khususnya koperasi pertanian), ditandai dengan dukungan/bantuan dan
pengawasan yang terlalu besar, struktur komunikasi dan pengambilan keputusan
memperlihatkan sama seperti pada lembaga-lembaga birokrasi pemerintah,

ketimbang sebagai suatu organisasi swadaya yang otonom, partisipatif dan
berorientasi pada anggota.
5. Terdapat kesalahan dalam memberikan bantuan pembangunan internasional dan
khususnya kelemahan-kelemahan pada strategi pembangunan yang diterapkan
pemerintah untuk menunjang organisasi koperasi.

Untuk mengatasi masalah tersebut, Hanel merumuskan beberapa rekomendasi
tentang upaya meningkatkan efektivitas dan efisiensi perusahaan koperasi sebagai
berikut:
1. Organisasi koperasi harus berusaha secara efisien dan produktif, artinya koperasi
harus memberikan manfaat dan menghasilkan potensi peningkatan pelayanan
yang cukup bagi anggotanya.
2. Organisasi koperasi harus efisien dan efektif bagi anggotanya, artinya setiap
anggota akan menilai manfaat partisipasi dalam usaha bersama lebih efektif
untuk mencapai kepentingan dan tujuannya dibandingkan dengan pihak lain.
3. Dalam jangka panjang, anggota koperasi harus dapat menerima saldo positif
antara pemanfaatan (insentif) dari koperasi dan sumbangan (kontribusi) yang
diberikan kepada koperasi.
4. Koperasi harus mampu menghindari terjadinya situasi dimana kemanfaatan yang
dihasilkan oleh usaha bersama/koperasi menjadi milik umum. Artinya koperasi
harus mampu mencegah timbulnya dampak dari penumpang gelap (free riders)
yang terjadi karena usaha koperasi mengarah kepada usaha bukan untuk anggota.

Yuyun Wirasasmita (1991) berpendapat bahwa kondisi koperasi setelah era
80-an dan 90-an, masih belum banyak mengalami perubahan karena masih dalam
kondisi :
1. Fungsi dan tujuan koperasi belum sesuai keinginan anggotanya.
2. Struktur organisasi dan proses pengambilan keputusan sukar dimengerti dan
dikontrol dan dipandang terlalu rumit bagi anggota.
3. Tujuan koperasi dari sudut pandang anggota sering dianggap terlalu luas atau
terlalu sempit.
4. Karyawan koperasi dan para manajer dalam menjalankan organisasi sangat
tanggap terhadap arahan pengurus atau pemerintah tetapi tidak tanggap terhadap
arahan anggota.
5. Fasilitas koperasi terbuka juga bagi non anggota sehingga tidak ada perbedaan
manfaat yang diperoleh anggota dan non anggota.

Positioning Koperasi

Menghadapi globalisasi dengan segala indikatornya, koperasi perlu
melakukan repositioning baik dalam hal perilaku dan kompetensi sumberdaya
manusia sebagai bagian dari upaya meningkatkan keunggulan kompetitif perusahaan
(Ignatius Roni Setiawan, 2002 dalam Sugiyanto, 2008:13). Repositioning peran
sumberdaya manusia dilakukan dengan mengubah pemahaman organisasi tentang
peran sumberdaya manusia yang semula dengan konsep people issues menjadi
people related business issues yang didefinisikan sebagai persoalan bisnis yang
selalu dikaitkan dengan peran aktif sumber daya manusia.

Peran sumberdaya manusia akan semakin dihargai terutama terkait dengan
kompetensinya dalam pengelolaan bisnis. Schuller dan Jackson, 1997; Ulrich D.,
1997 (dalam Sugiyanto, 2008), menawarkan empat hal pokok yang berkenaan
20

dengan peran sumberdaya manusia, yaitu menjadi mitra strategis (strategic partner),
menjadi ahli administrasi (administrative expert), menjadi pelopor/pejuang
(employee champion), dan menjadi agen perubahan (agent of change).

Hasil analisis Sugiyanto (2006:9) menyebutkan bahwa kinerja perusahaan
koperasi di Indonesia pada tahun 2003 dan 2004, berdasarkan kinerja pengembalian
asset yang diinvestasikan kedalam perusahaan koperasi dengan ukuran Return on
Asset (ROA) rata-rata hanya sekitar 7,52 persen. Ketersediaan sumberdaya manusia
yang handal untuk mengelola bisnis koperasi juga masih kurang. Tidak semua
koperasi memiliki manajer, hanya satu dari empat koperasi yang telah mampu
memiliki manajer. Rata-rata partisipasi kontributif anggota (kontribusi modal) hanya
sebesar Rp 435,614,-.

Rendahnya rata-rata kinerja koperasi, terutama dilihat dari efisiensi usaha
(RE) secara empiris berkaitan erat dengan lemahnya proses manajemen yang berawal
dari fungsi perencanaan, pengorganisasian, Pelaksanaan, dan pengendalian yang
lemah termasuk sistim renumerasi, dan sistim karier. Dari sembilan koperasi yang
diobservasi hanya dua koperasi (22,22 persen) saja yang telah menerapkan prinsip
dan proses manajemen dengan relatif baik. Dalam pembahasan sebelumnya diduga
hal ini karena koperasi tidak memiliki cukup sumberdaya yang kompeten di bidang
manajerial, atau memiliki pengetahuan dan kompetensi yang cukup baik tetapi tidak
memiliki komitmen yang tinggi untuk menerapkan ilmu manajemen di koperasi.
Kedua faktor penyebab secara simultan memiliki pengaruh dominan terhadap
positioning koperasi yang buruk.

Positioning koperasi di era globalisasi perdagangan bebas hanya dapat
dipertahankan bila koperasi mampu dikelola dengan baik dan memberikan manfaat
ekonomi bagi anggotanya melalui penciptaan keunggulan kompetitif yang dapat
disediakan koperasi bagi anggota. Manfaat ekonomi inilah yang akan menyebabkan
tingginya loyalitas dan partisipasi anggota terhadap koperasinya.

Ropke (1989), Andang K. (1993) dalam Sugiyanto (2006:12) mengajukan
model matrik positioning koperasi dari hubungan antara partisipasi anggota dengan
profesionalisme manajemen dalam menentukan keberhasilan koperasi untuk
mencapai tujuan sebagai berikut:

Profesionalisme manajemen/
Partisipasi anggota
Partisipasi anggota Tinggi
Partisipasi Anggota Rendah

Sumber: Ropke (1988), dalam Sugiyanto (2006)

Tabel 3. Model Matrik Positioning

Profesionalisme tinggi

Koperasi berkembang baik
Koperasi mati pelan-pelan

Profesionalisme rendah

Koperasi berkembang lambat
Koperasi mati dengan segera

Apabila matriks ini digunakan untuk memotret kondisi sembilan koperasi
sampel yang diobservasi, maka positioning-nya adalah sebagai berikut:
1. Koperasi berkembang baik: 3 koperasi atau 33,33 persen (KPSBU Lembang,
KSP Trisula Majalengkan dan KSP Surya Abadi Mandiri).
2. Koperasi berkembang lambat: 2 koperasi atau 22,22 persen (KUD Trisula, KUD
Harapan Tani).
3. Koperasi mati pelan-pelan : 3 koperasi atau 33,33 persen (GKSI Jawa Barat,
Puskud Sumatera Utara, dan KUD Karya Teguh).

4. Koperasi mati dengan segera : 1 koperasi atau 11,1 persen (KUD Setia Tani,
Sumatera Utara).

Dari uraian ini terdapat beberapa pelajaran menarik yang layak dicontoh oleh
koperasi dalam rangka mereposisi pengembangan bisnisnya. Positioning yang baik,
dibangun dengan perencanaan dan strategi bisnis yang matang yang dimulai dengan
tahapan:
(1) identifikasi kekuatan dan kelemahan internal perusahaan;
(2) identifikasi peluang dan tantangan lingkungan bisnis eksternal;
(3) identifikasi dan analisis peluang pasar;
(4) segmentasi pasar;
(5) repositioning; dan,
(6) merancang strategi pemasaran yang tepat (product, place, promotion dan price)
atau strategi bisnis.

Sejauh ini belum terdapat fakta empiris bahwa telah terdapat koperasi yang
telah melakukan positioning ataupun repositioning dalam hal pengelelolaan
sumberdaya, kelembagaan maupun usahanya. Dengan demikian belum terdapat
contoh best practice yang dapat dijadikan rujukan dan replikasi bagi koperasi
lainnya. Koperasi di Indonesia, nampaknya masih bergulat dengan kondisi dan
masalah internalnya.

Kesimpulan Dan Rekomendasi

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil kajian empiris ini dapat disimpulkan bahwa prospek koperasi
dilihat dari perspektif ilmu manajemen bisnis sesuai dengan enam pertanyaan
penelitian yang diajukan adalah sebagai berikut :
1). Dari sudut pandang disiplin ilmu manajemen bisnis, perubahan lingkungan
bisnis global mendorong organisasi koperasi untuk menerapkan disiplin ilmu
manajemen modern yang mendorong reformulasi tujuan dan strategi,
restrukturisasi, dan realokasi sumberdaya kearah yang lebih inovatif untuk
menciptakan keunggulan kompetitif di pasar. Ditinjau dari perspektif tersebut
praktek manajemen di koperasi saat ini sudah jauh tertinggal dan menjadi tidak
relevan dengan tuntutan jaman.

Perkembangan koperasi di Indonesia yang cenderung lamban atau bahkan
stagnant ditengarai oleh kelemahan fundamental dalam penerapan fungsi-
fungsi manajemen sehingga proses manajemen terhambat. Proses perencanaan
berlangsung tanpa mengindahkan kaidah perencanaan yang baik dan benar.
Orientasi perencanaan lebih kepada tujuan jangka pendek karena lemahnya visi
perencanaan jangka panjang untuk mengantisipasi perubahan lingkungan
bisnis. Kondisi ini menyebabkan bisnis koperasi kebanyakan gagal memberikan
manfaat ekonomi yang lebih baik bagi para anggotanya. Pengelolaan usaha
koperasi banyak yang tidak efisien dan belum sesuai dengan kepentingan
anggotanya. Koperasi terkesan hanya menjalankan fungsi dagang tanpa
kemampuan menciptakan nilai tambah.

Kondisi masyarakat Indonesia dewasa ini yang sudah semakin pragmatis dan
rasional akan beralih kepada lembaga ekonomi yang mampu memberikan
manfaat ekonomi yang lebih baik. Mengamati fenomena yang ada, dapat
diprediksi bahwa beberapa jenis koperasi akan kehilangan maknanya sebagai

lembaga ekonomi. Hanya beberapa jenis koperasi seperti KSP (single
purpose), Kopdit, dan koperasi peternakan (single commodity multi purpose)
yang mampu bertahan dalam beberapa tahun ke depan. Dari sudut kebijakan
makro, berkembangnya bisnis simpan pinjam koperasi tidak terlepas dari
ketatnya regulasi dan pembinaan pemerintah melalui penilaian kesehatan, dan
standarisasi sistim pengelolaan.

4.2. Rekomendasi

Pihak manajemen di koperasi dalam hal ini pengurus dan manajer harus segera
meninggalkan cara-cara lama (konvensional) dalam pengelolaan koperasi
dengan mengadopsi dan mengadaptasi manajemen bisnis modern. Melakukan
reformulasi tujuan koperasi sesuai dengan tuntutan kebutuhan anggota yang
dinamis dan tuntutan persaingan.

Pihak manajemen di koperasi perlu memperbaiki kinerja koperasi dengan
mengembalikan peran dan funsi koperasi yaitu kepada yang seharusnya yaitu
koperasi yang berlandaskan dasar-dasar self help (menolong diri sendiri), self
relience (percaya diri), self responsibility (bertanggung jawab atas dirinya),
sehingga dengan demikian kaidah-kaidah koperasi yaitu efisiensi secara
keseluruhan dan khususnya dalam pelayanan anggota dapat diciptakan.

Kebutuhan akan implementasi manajemen modern di koperasi harus tumbuh
dari lingkungan intrnal koperasi, meskipun pada tahap awal pemerintah dapat
bertindak sebagai agen perubahan untuk memprakarsai proses perubahan sikap
dan prilaku pihak manajemen koperasi melakukan bencmarking manajemen
modern dari berbagai sumber.

DAFTAR PUSTAKA

Baswir, Revrisond, (2007). Revitalisasi Koperasi. Makalah disampaikan dalam Diskusi Terbatas
Pemaparan Hasil-Hasil Penelitian Koperasi. Yogyakarta.

Bernardin, H. John. et. al., (1993). Human Resource Management, An Experiential Approach,
International Edition: Mc Graw-Hill, Inc, Singapore.

Budiono, (1986). Ekonomi Mikro, Yogyakarta : BPFE-UGM.

Creech, B., (1996). Lima Pilar TQM, diterjemahkan oleh Sindoro A, Binarupa Aksara.

Dulfer, Eberhard, (1994). Corporate Culture of Cooperatives, Dalam International Handbook of
Cooperative. Vandenhoeck & Ruprecht, Gottingen.

Dulfer, Eberhard (1994). Evaluation of Cooperative Organization, Dalam International
Handbook of Cooperative. Vandenhoeck & Ruprecht, Gottingen.

Dulfer, Eberhard, (1994). Structural Types of Cooperatives, Dalam International Handbook of
Cooperative. Vandenhoeck & Ruprecht, Gottingen.

Ferguson, C.E., (1984). Micro Economic Theory, New York, Mc Graw-Hill.

Gaspersz, Vincent, (1997). Manajemen Bisnis Total, Penerbit Afabeta, Bandung.

Gibson, James L. et. al., (1995). Fundamentals of Management, Richard D. Irwin, Inc.

Gupta, V.K. et. al., (1985). Guidance for Agricultural Cooperative Management, IIM,
Ahmadabad, India.

Hanel, Alfred, (1985). Basic Aspect Of Cooperative and Political for their Promotion in
Developing Countries, Marburg, West Germany.

Hanel, Alfred, (1985). Oficialization of Cooperatives, Marburg, West Germany.

Hann, Dietger and Kaufmann Lutz, (1994). Strategic Aliances, International Handbook of
Cooperative. Vandenhoeck & Ruprecht, Gottingen.

Hasibuan, Malayu S.P., (2005). Manajemen Sumber Daya Manusia, Penerbit PT. Bumi Aksara,
Jakarta.

Hamid, Abdul, (2003). Analisis Pengukuran Prestasi Kerja Karyawan, Tesis untuk memperoleh
Gelar Magister Manajemen di Program MM, IKOPIN, Bandung.

Kasali, Rheinald, (2005). Change Management, PT. Gramedia Pustaka Utama.

David, Keith, (1996). Management, Sixth Edition, Prentice-Hall, Inc, Englewood Cliffs, New
Jersey.

Lewis and Smith, (1996). Total Quality In Higher Education, Delray Beach, Florida, St. Lucie
Press.

Milkovich, George T. et. al., (1988). Human Resource Management: A Diagnostic Approach,
Fith Edition: Business Publication, Inc. Plano, Texas.

Mulawarman, Aji Dedi, (2007). Mengembangkan Kompetensi Inti dan Konsep Bisnis Koperasi,
Digali Dari Realitas Masyarakat Indonesia, Makalah disampaikan pada Diskusi
Terbatas Tentang Profesionalisme Pengelolaan Koperasi Dalam Era Kompetisi Global,
Malang, Desember 2007.

Nirbito, J.G., (2007). Profesionalisme Dalam Pengelolaan Usaha Koperasi Yang Berbasis
Nilai: Strategi Untuk Mewujudkan Lewat Diklat dan Pemberlakuan Kode Etik, Makalah

disampaikan pada Diskusi Terbatas Tentang Profesionalisme Pengelolaan Koperasi
Dalam Era Kompetisi Global, Malang, Desember 2007. Jawa Timur.

Robert, Kreitner and Angelo Kinicki, (1998). Organizational Behavior, Irwin/Mc Graw Hill.

R. Wayne Mondy. et. al., (1998). Human Resource Management, Prentice Hall International,
New Jersey.

Ropikoh, Opik, (2003). Evaluasi Faktor-Faktor Yang Menyebabkan Turunnya Perputaran
Modal Kerja dan Rentabilitas Ekonomi Pada KUD Ciptaraharja. Tesis untuk
memperoleh gelar Magister Manajemen pada program MM, IKOPIN. Bandung.

Ropke, Jochen, (1992). Strategic Management of Self-Help Organization. Marburg, Germany.

Ropke, Jochen, (1995). The Economic Theory of Cooperatives Enterprise in Developing
Countries, With special Reference of Indonesia. Marburg, Germany.

Ryanto, Bambang, (1995). Dasar-Dasar Pembelanjaan Perusahaan, PT. BPFE, Yogyakarta.

Savitri Dewi, Lely, (2001). Pengaruh Kualitas Kewirausahaan Pribadi Manajer Terhadap
Profitabilitas KSP Koperasi di Kota Bandung, Tesis untuk memperoleh gelar Magister
Sain pada program Pasca Sarjana Universitas Pajajaran. Bandung.

Sugiyanto, (2006). Pengaruh Kompetensi dan Komitmen Manajemen Terhadap Kinerja
Keuangan, Promosi Ekonomi Anggota dan Struktur Modal Koperasi Di Jawa Barat,
Disertasi Program Doktor Ilmu Manajemen Universitas Pajajaran, Bandung.

Suryati, Lilis, (1997). Partisipasi Anggota Dalam Kontribusi Modal dan Pemanfaatan
Pelayanan Koperasi Dihubungkan dengan Tingkat Rentabilitas Koperasi Pada KUD
Ngupaya Mina, Indramayu, Skripsi untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi, IKOPIN,
Bandung.

Tjiptono dan Handoko, (1997). Kepemimpinan dan Manajemen SDM dalam Lingkungan
Organisasi, TQM Magazine, Vol. 7.

Umar, Ade, (2006). Pengaruh Kompensasi dan Motivasi Kerja Terhadap Prestasi Kerja
Karyawan, Tesis untuk memperoleh Gelar Magister Manajemen di IKOPIN.

Wherther, William B., (1996). Human Resource Personal Management, Fith Edition, Irwin-Mc
Graw Hill, International Edition.

Wirasasmita, Yuyun, (1990). Strategi Pembangunan Sektor Perkoperasian yang Mengerahkan
Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan Koperasi, dalam Rusidi dan Maman
Suratman (penyunting), Pokok-Pokok Pikiran Tentang Pembangunan Koperasi, Penerbit
IKOPIN, Jatinango

Tidak ada komentar:

Posting Komentar